0

Cerpen pertamaku..

“Brak….”, ayah memukul meja dengan begitu keras. Kebisuanku atas semua pertanyaannya membuat naik pitam. Kemarahan tampak sangat jelas terlihat di matanya yang mulai memerah.
“Kenapa kamu tidak mau sekolah?” ayah kembali bertanya. Tapi kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
Aku hanya diam membisu. Menundukkan kepala. Ya, hanya itu yang aku lakukan sejak pertama ayah menanyaiku. Tubuhku mematung, tak bergerak sedikitpun. Malas rasanya menjawab pertanyaan ayah.
Diantara suara-suara bernada tinggi itu, telingaku menangkap suara tangisan. Aku sangat mengenal suara itu. Dan arah datangnya suara itu semakin menyakinkanku bahwa itu suara ibu. Suara tangisan yang memilukan.
Ibu…., batinku. Dialah wanita yang paling aku sayangi di dunia ini. Tak pernah sekalipun kudengar, ia membentakku, memerahiku, atau bahkan memukulku. Walau kutahu sebenarnya saat ini dia sangat kecewa padaku. Kekecewaan yang sangat dalam. Dan kekecewaan itu telah menjelma menjadi titik-titik air mata.
“Mau ataupun tidak mau, suka ataupun tidak suka, pokoknya kamu harus sekolah!” ayah mengeluarkan ultimatumnya sembari berdiri meninggalkan tempatnya. Mungkin habis sudah kesabarannya melihat tingkahku.
Tak kuhiraukan kepergian ayah. Aku masih tetap diam ditempatku. Membantu dan membisu layaknya benda mati. Kulirik kalender pada dinding. Ternyata genap 2 bulan aku tidak sekolah. Aku yakin, pasti sudah lebih dari sepuluh orang yang aku buat kecewa sekaligus jengkel padaku. Sedikit terbesit rasa puas dalam benakku, inilah yang aku inginkan, membuat mereka jengkel dan kecewa padaku.
Hanya tatapan kosong yang selalu tampak dari kedua bola mataku. Berbaring dalam ranjang dan menatap langit-langit kamar, itulah kegiatan yang selalu menghiasi hari-hariku selama 2 bulan terakhir. Udara pagi yang segar tak berarti apa-apa. Bagiku tak ada bedanya antara pagi, siang, sore ataupun malam. Semuanya sama saja. Karena hanya berbaring dan menerawang langit-langit yang selalu mengisi hari-hariku.
Entah apa yang aku fikirkan, aku sendiri tak dapat mengerti. Tampak wajah-wajah orang-orang yang aku sayangi menghiasi langit-langit kamar,dan ikut bermain-main di memori ingatanku. Ibu, ayah, teman-teman sekolahku, guru-guru pengajar dan mereka semua yang selalu melepaskan senyum bila berpapasan denganku. Aku tak tahu lagi, apakah mereka semua masih  menyanyangiku? Atau malah sebaliknya, kecewa dan jengkel atas semua tingkah lakuku? Ya…..Allah, apakah aku salah telah dengan sengaja membuat mereka semua jengkel kepadaku. Hanya Engkau yang mengetahui isi hatiku yang sesungguhnya. Dan hanya Engkau pula yang mengetahui bahwa sesungguhnya ada batin yang menangis pilu dibalik tingkah dan wajah yang sungguh menjengkelkan.
Di ruangan yang berukuran 3 x 4 ini aku menjalani hari-hariku tanpa melakukan kegiatan yang berarti. Seandainya aku mau, aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Melakukan apa saja tanpa harus melangkah meninggalkan kamar. Memang, karena ayah selalu memanjakanku dengan fasilitas-fasilitas yang wah dan serba canggih di kamarku. TV yang lengkap dengan parabola yang bisa menjelajahi channel-chennel luar negeri. Seperangkat komputer yang lengkap dengan internet, ada PS3 yang bisa aku mainkan kapan saja, dan tak ketinggalan DVD yang lengkap dengan sekardus koleksi kaset-kaset film yang menurut teman-temanku sangat seru. Namun sayang, semua itu tidak mampu lagi menarik perhatianku sejak 2 bulan ini.
Butir-butir air mata mengalir begitu saja ketika aku mengingat kembali kejadian dua bulan yang lalu, kejadian yang telah merubah semuanya dalam hidupku. Kejadian itu juga membakar semuanya tanpa sisa. Senyumku, keceriannku, bahkan semua semangatku telah dibakarnya. Yang tersisa hanyalah kesedihan dan keterpurukan yang tak berujung.
Masih tergambar jelas dimemori ingatanku. Senin yang begitu cerah, dengan semangat aku mengayuh sepeda menuju sekolah. Kegiatan yang sangat menyenangkan bagiku, mencium tangan guru-guru yang menyambutku dengan senyum yang mengembang, bertemu dengan teman-teman, dan kulihat anak OSIS yang sedang sibuk mengusung alat-alat upacara. Pasti hari ini upacara, batinku. Segera kuletakkan tas di bangkuku, dan segera bergabung dengan teman-teman yang mengerombol, entah apa topik yang mereka bicarakan kali ini. Sangat mudah bagiku untuk bergabung dengan mereka, karena memang di kelas aku terkenal sebagai anak yang kocak dan sangat menyenangkan. Selalu membuat orang-orang disekitarku tertawa itulah prinsipku.
Bel sekolahpun berbunyi, itu berarti kami semua harus segera menuju ke lapangan upacara. Jangan sampai kesiswaan kami bernyanyi, dengan muka seram di atas mimbar. Hu…………Sangat menakutkan. Begitu pula denganku, aku segera bergabung dengan barisan di IX A.
Hari yang begitu cerah, matahari bersinar dengan leluasa karena memang tak ada awan putih yang biasanya menghalanginya. Burung-burung gereja telah memulai harinya dengan menikmati buah cherrys yang tumbuh subur di lapangan upacara.
Tapi kenapa ini, tiba-tiba kepalaku merasakan sakit yang teramat sangat. Disusul dengan mengalirkan cairan merah pekat dari lubang hidungku. Ada apa ini, tak pernah aku mengalami seperti ini. Pandanganku memudar, sampai akhirnya semuanya gelap dan tubuhku mulai roboh.
Saat aku tersadar, aku tahu bahwa aku berada di ruangan UKS. Aku sempat melirik ke bawah, ternyata hem putihku sudah berubah warna menjadi merah karena terkena darah mimisan. Aku mimisan begitu banyak rupanya. Petugas UKS dengan cekatan membersihkan sisa darah yang masih bersarang di hidung dan tanganku. Dan aku hanya bisa terbaring lemah.
Entah sudah berapa kali aku mengalami kejadian seperti ini. Mungkin jemari di kedua tangan dan kakiku sudah tak dapat lagi mewakilkan jumlahnya. Tapi tak pernah kusangka bahwa hal seperti ini akan terjadi di sekolah. Inilah yang pertama kali dan aku berharap sekaligus yang terakhir.
Kejadian seperti ini memang sangat sering kualami. Saat aku di kamar mandi, saat belajar dan yang paling sering saat aku tidur malam. Saat masjid sudah mengumandangkan azan subuh, aku selalu terbangun. Dan saat aku terbangun, seringkali aku menemui sarung bantalku sudah penuh dengan darah yang sudah mengering. Tak pernah sekalipun aku curiga akan hal ini. Aku selalu berfikiran mungkin aku hanya kecapaian.
Tapi setelah kejadian di upacara itu, tak dapat kupungkiri bahwa aku mulai curiga, cemas, sekaligus takut. Tak ada yang mengetahui tentang semua ini, termasuk  kedua orang tuaku. Aku memang sengaja tak mau memberitahu mereka semua. Karena aku adalah anak laki-laki yang harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
Aku kira uang tabungan sebanyak satu juta lebih cukup untuk mengobati kecurigaanku dengan cara memeriksakan diri ke dokter sendirian. Beberapa tes di laboratorium sudah kujalani. Dan inilah saatnya, saat dimana semua kecuriagaannku terjawab. Awalnya dokter menanyakan kedua orang tuaku, dan aku terpaksa berbohong padanya. Kubilang bahwa aku anak piatu dan ayahku bekerja sebagai TKI di Arab. Dan kukatakan juga bahwa aku disini hanya tinggal bersama nenekku yang sudah sangat renta. Awalnya nampak kecurigaan di wajah Dr.Lia, tapi semuanya bisa keselesaikan dengan kebohonganklu. Dan iapun percaya.
Sebuah amplop putih bersih terapit di antara jempol dan telunjuk Dr.Lia. Isi dari amplop itulah yang akan menjawab semua kecurigaanku. Kecemasan tergambar jelas di raut wajahnya. Nampaknya Dr.Lia ragu untuk menyerahkan amplop itu kepadaku.
Semua itu membuatku semakin takut, semua sikap dan raut wajah Dr.Lia membuat jantungku berdetak sangat kencang. Ada apa ini? Apakah yang sebenarnya terjadi? Cepat dok, cepat berikan amplop itu kepadaku. Hatikupun sempat bersuara.
Mau tak mau, Dr.Lia harus menyerahkan amplop itu. Dan sekarang, amplop itu telah berpindah tangan. Ya, sekarang amplop itu berada di tangan seorang siswa SMP kelas IXA. Kubuka amplop itu pelan-pelan, kubuka lipatan kertas hasil tes kesehatan. Kutarik nafas dalam-dalam dalam sebelum akhirnya aku membuka kedua mataku. Kulihat rangkaian huruf-huruf yang tersusun disana.
Masya Allah, lidah seakan bertulang, tak kuasa mengeja rangkaian  huruf-huruf itu. Harus dengan cara bagaimana aku membacanya. Tubuhku lemas, aliran darah seakan terhenti. Seluruh tubuh serasa seperti lumpuh. Dan semua fikiranku, entah apa yang aku fikirkan saat ini. Hanya empat kata yang bermain-main di fikiranku sekarang. Empat kata yang tertulis jelas di kertas yang saat ini aku pegang. Empat kata itu adalah “Kanker Otak Stadium Akhir.”
Kulihat Dr.Lia sudah tak ada ditempatnya. Tapi kudapati selembar kertas dihadapanku yang bertuliskan.


Folded Corner: Maafkan saya nak, saya tidak dapat berbuat banyak  untuk membantumu saat ini, bahkan mengatakan secara langsung kepadamupun aku tak mampu. Bahagiakanlah orang-orang disekitarmu. Ilmu kedokteran menyatakan bahwa umurmu tak lebih dari 2 bulan lagi. Tapi sungguh, hanya Sang Pencipta yang berhak menentukan umurmu. Kau masih punya harapan dengan kemoterapi.











“Astagfirullahaladzim,” Kata itu keluar dari mulutku saat adzan dhuzur membuyarkan lamunanku yang panjang. Dr.Lia benar, pikirku. Secanggih apapun ilmu kedokteran, tak akan pernah bisa merubah takdir yang telah digariskan. Dapat dibuktikan bahwa sampai saat ini, setidaknya siang ini aku masih bisa menghirup udara di bumi. Meskipun saat ini sudah melebihi satu hari dari 2 bulan. Allah masih menyanyangiku.
“Siapkah aku untuk menjadi tamuMu ya Allah?” lirih kuucapkan pertanyaan itu. Tapi setidaknya tidak akan ada orang yang menangisi kepulanganku pada sang Pencipta. Karena aku telah berhasil membuat  mereka semua jengkel dengan tingkahku selama dua bulan ini.
Suara iqamah membuatku beranjak dari ranjang, kuambil air wudhu untuk mensucikan mayat hidup ini. Kupakai sarung dan baju kokoh putih kesayanganku yang terlipat rapi di lemari. Dan tak lupa juga songkok putihku. Kutunaikan rukun Islam ke-2 diatas sajadah yang terhampar. Tak kudengar satupun suara saat aku sudah bertakbiratul ikhram, semuanya sunyi.
Memasuki rakaat terakhir, rasa sakit itu datang lagi menghampiri kepalaku. Rasa sakit ini seribu kali lebih dasyat dari rasa sakit biasanya. Kutahan dengan sekuat tenaga. Ya Allah izinkan hamba merampungkan ibadah hamba, setidaknya sampai sujud terakhir sholat ini, hanya itu pinta hamba. Rasa sakit itu seketika hilang saat aku memasuki tahiyat terakhirku. Allah menyanyangiku. Tercium bau yang sangat wangi seiring datangnya angin sayup yang menyertai tahiyat terakhirku.
“Asyhadualla illaa ha illaalahu, wa asyhadu anna muhammadar rosullullah,”, doa terakhir yang keluar dari mulutku saat aku mengacungkan jari telunjuk sebelum aku menyelesaikan tahiyat terakhirku. Bau wangi kembali tercium, saat pendanganku memudar dan nafasku terhenti untuk selamanya.


0 comments:

Post a Comment

Back to Top